Kegiatan tuk korban merapi

Rabu, 04 Mei 2011

Penebar Senyum Anak Korban Bencana

Penebar Senyum Anak Korban Bencana

Rabu, 24 Juni 2009

Tragedi telah berlalu tiga bulan. Dan Situ Gintung masih karut-marut karena janji revitalisasi Pemerintah Kota Tangerang Selatan belum terealisasi. Tapi, senyum anak-anak korban bencana yang sempat trauma, telah kembali mengembang. Inilah kisah para relawan spesialis trauma healing bagi anak-anak di lokasi bencana.

Pengalaman adalah guru terbaik. Pameo itu ibarat pengikat para relawan untuk membantu korban bencana. Situasi tertekan membuat mereka makin solid menangani korban bencana. Tsunami yang meluluhlantakkan Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias pada 2004, misalnya. Ada sekitar 25 ribu relawan baik lokal maupun internasional yang turun saat itu.

Bukan sekadar medis ataupun logistik yang mereka kaver, tapi juga rehabilitasi psikis korban. Terutama anak-anak yang mengalami trauma. Hal serupa juga terjadi ketika gempa Bantul, Yogyakarta, pada 2006 dan tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, tiga bulan lalu. Para relawan dari beragam organisasi turun tangan memulihkan kondisi kejiwaan anak-anak korban bencana. Jumlah relawan yang turun mendekati angka ribuan orang.

Salah satu lembaga yang fokus dalam hal itu adalah Palang Merah Indonesia (PMI). Bahkan PMI memiliki Psychosocial Support Program (PSP), divisi khusus penanganan rehabilitasi korban pascabencana. Divisi itu hampir sama tua dengan divisi utama PMI, yakni divisi kesehatan.

�Sejak kami menangani tsunami di Aceh, aktivitas divisi ini semakin jelas dan terorganisasi,� ujar Leo Pattiasina, Kepala Sub Bidang PSP PMI mengenai debut memukau divisi tersebut. PSP menangani korban bencana dari berbagai kelompok umur. Setiap kelompok umur memiliki penanganan yang spesifikasi dan kegiatan berbeda-beda.

Divisi serupa juga dimiliki Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak). Hanya saja, sesuai spesialisasinya, lebih memfokuskan penanganan bagi kelompok anak. Kelompok relawan yang bergerak �underground� pun banyak terlibat. Sebut saja relawan yang tergabung dalam Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN).

Untuk kasus Situ Gintung, YNDN mendirikan posko trauma healing bagi anak-anak korban. Padahal, yayasan yang berdiri pada 17 November 1990 itu awalnya lebih memfokuskan pada kegiatan pendidikan dan keterampilan bagi anak-anak jalanan. Namun, karena tuntutan kebutuhan, divisi trauma healing itu lahir. Di lapangan, YNDN berkonsolidasi dengan personel dari Komnas Perlindungan Anak. �Kami saling mengisi dan kerja sama,� ujar Indra Hastono, Ketua Relawan Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) posko Situ Gintung, Cabang Ciputat, Tangerang.

Meski kelompok-kelompok relawan itu berbeda latar belakang, kesamaan di antara mereka adalah sikap profesional. Meski fasilitas terbatas, kerja sosial yang mereka lakukan tetap profesional.



Fasilitas Minus

Sayangnya, gerakan mereka masih terseok-seok. Soal fasilitas di Situ Gintung, misalnya, Komnas Perlindungan Anak hanya memiliki ruang penunjang aktivitas anak korban bencana. Pun, pengadaannya berasal dari sumbangan para donator.

�Sampai saat ini, kami masih menunggu tempat baru yang dijanjikan Pemerintah Kota Tangerang Selatan,� ujar Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak. Kabarnya, Juli nanti, bertepatan dengan Hari Anak Nasional, baru dibuatkan creativity center sebagai kelanjutan program rehabilitasi anak-anak tragedi Situ Gintung.

Hal serupa juga dialami relawan YNDN di Situ Gintung. Kegiatan rehabilitasi anak dilakukan di sebuah rumah kontrakan yang justu mirip barak. Biaya kontrakan itu pun mereka tanggung secara swadana, termasuk anggaran sebagian besar kegiatan lain. �Kami juga tidak tahu dapat dana dari mana untuk membayar kontrakan bulan depan,� timpal Indra.

Namun, keterbatasan anggaran dan fasilitas tidak menyurutkan kreativitas dan profesionalisme mereka. Ketika YNDN ingin menggelar outbond beberapa waktu lalu, misalnya, mereka tidak menggelar di area outbond yang kini banyak tersebar di Ibu Kota dengan harga selangit. Tapi justru memanfaatkan lingkungan Situ Gintung yang porak-poranda sebagai wahana, dan memanfaatkan benda-benda yang ditemukan sebagai perlengkapan permainan.



Tetap Rawan

Lalu, siapa dan dari mana saja personel trauma healing tersebut? Latar belakang belakangnya bisa berasal dari apa pun. Sebab, pelatihan dasar bagi relawan YNDN termasuk penanganan kejiwaan anak, tidak terkait dengan background pendidikan. �Yang penting adalah keinginan membantu,� ujar Indra.

Berbeda dengan Divisi PSP PMI. Lebih diminati bila calon relawan berlatar belakang pendidikan psikologi. Tapi juga tidak menutup lulusan SMA hingga berusia 40 tahun untuk bergabung. Relawan juga harus mengikuti pelatihan penanganan kejiwaan pascabencana. Pelatihan itu memiliki dua berjenjang, yang masing-masing berdurasi selama tujuh hari. Pelatihan digelar dalam tiga regional PMI, yakni Indonesia bagian barat, Indonesia bagian timur, dan Indonesia bagian tengah.

Para relawan itu dilatih agar piawai menangani berbagai kasus bencana, khususnya penanganan mental dan psikis korban. Seperti ketika terjadi gempa Bantul, Yogyakarta, tiga tahun silam, PMI menjadi motor program trauma healing. Hanya saja, untuk tragedi Situ Gintung, PMI tidak terjun penuh lantaran sudah banyak kelompok relawan yang turun ke lokasi. �Ada sekitar 40 organisasi saat itu,� ujar Leo.

Cepat tanggapnya berbagai kelompok relawan saat tragedi Situ Gintung memang patut diacungi jempol. Hanya saja tidak semua dari mereka bertahan dan mampu menuntaskan program. Padahal, meski bencana telah berlalu hampir tiga bulan, bukan berarti psikis anak telah kembali normal. �Justru masa-masa sepi seperti saat ini rawan bagi anak-anak yang penah trauma dapat kembali terjadi,� tegas Indra.
yst/L-4


Tidak ada komentar:

Posting Komentar